Kerajaan Banten
Kerajaan Banten didirikan oleh Fatahillah (1527). Semula, Banten merupakan daerah
kekuasaan Kerajaan Hindu Pajajaran. Kemudian, Banten direbut dan diperintah oleh
Fatahillah dari Demak. Pada tahun 1552, Fatahillah menyerahkan Banten kepada putranya,
Hasanuddin.
Fatahillah sendiri pergi ke Cirebon dan berdakwah di sana sampai wafat (1570). Ia dimakamkan di desa Gunung Jati. Oleh karena itu, ia disebut Sunan Gunung Jati. Di bawah pemerintahan Hasanuddin (1552 – 1570), Banten mengalami kemajuan di bidang perdagangan dan wilayah kekuasaannya meluas sampai ke Lampung dan Sumatra Selatan.
Setelah wafat, Hasanuddin digantikan oleh putranya, Panembahan Yusuf (1570 – 1580). Pada masa pemerintahannya, Pajajaran berhasil ditaklukkan (1579). Panembahan Yusuf wafat pada tahun 1580 dan digantikan putranya, Maulana Muhammad (1580 – 1597). Pada masa pemerintahannya, datanglah Belanda. Ia menyambut kedatangan Belanda dan oleh Belanda ia diberi gelar Ratu Banten. Sepeninggal Ratu Banten, pemerintahan dipegang oleh Abdulmufakir yang masih kanak-kanak (1597 – 1640). Ia didampingi oleh walinya, Pangeran Ranamenggala. Pada tahun 1640, Abdulmufakir diganti oleh Abu Mali Ahmad (1640 – 1651).
Pemerintahan selanjutnya dipegang oleh Abdul Fatah yang bergelar Sultan Ageng Tirtayasa (1651 – 1682). Pada masa pemerintahannya, Banten mencapai kejayaan. Sultan Ageng mengadakan pembangunan, seperti jalan, pelabuhan, pasar, masjid yang padadasarnya untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Banten.
Namun sejak VOC turut campur tangan dalam pemerintahan Banten, kehidupan sosial masyarakatnya mengalami kemerosotan. Keadaan semakin memburuk ketika terjadi pertentangan antara Sultan Ageng dan Sultan Haji, putranya dari selir.
Pertentangan ini berawal ketika Sultan Ageng mengangkat Pangeran Purbaya (putra kedua) sebagai putra mahkota. Pengangkatan ini membuat iri Sultan Haji. Berbeda dengan ayahnya, Sultan Haji memihak VOC. Bahkan, dia meminta bantuan VOC untuk menyingkirkan Sultan Ageng dan Pangeran Purbaya. Sebagai imbalannya, VOC meminta Sultan Haji untuk menandatangani perjanjian pada tahun 1682 yang isinya, antara lain, Belanda mengakui Sultan Haji sebagai sultan di Banten; Banten harus melepaskan tuntutannya atas Cirebon;
Banten tidak boleh berdagang lagi di daerah Maluku, hanya Belanda yang boleh mengekspor lada dan memasukkan kain ke wilayah kekuasaan Banten; Cisadane merupakan batas antara Banten dan Belanda. Perjanjian tersebut mengakibatkan Banten berada pada posisi yang sulit karena ia kehilangan peranannya sebagai pelabuhan bebas sejak adanya monopoli dari Belanda. Pada tahun 1683,
Sultan Ageng tertangkap oleh VOC sedangkan Pangeran Purbaya dapat meloloskan diri. Setelah menjadi tawanan Belanda selama delapan tahun, Sultan Ageng wafat (1692). Adapun Pangeran Purbaya tertangkap oleh Untung Suropati, utusan Belanda, dan wafat pada tahun 1689.
Fatahillah sendiri pergi ke Cirebon dan berdakwah di sana sampai wafat (1570). Ia dimakamkan di desa Gunung Jati. Oleh karena itu, ia disebut Sunan Gunung Jati. Di bawah pemerintahan Hasanuddin (1552 – 1570), Banten mengalami kemajuan di bidang perdagangan dan wilayah kekuasaannya meluas sampai ke Lampung dan Sumatra Selatan.
Setelah wafat, Hasanuddin digantikan oleh putranya, Panembahan Yusuf (1570 – 1580). Pada masa pemerintahannya, Pajajaran berhasil ditaklukkan (1579). Panembahan Yusuf wafat pada tahun 1580 dan digantikan putranya, Maulana Muhammad (1580 – 1597). Pada masa pemerintahannya, datanglah Belanda. Ia menyambut kedatangan Belanda dan oleh Belanda ia diberi gelar Ratu Banten. Sepeninggal Ratu Banten, pemerintahan dipegang oleh Abdulmufakir yang masih kanak-kanak (1597 – 1640). Ia didampingi oleh walinya, Pangeran Ranamenggala. Pada tahun 1640, Abdulmufakir diganti oleh Abu Mali Ahmad (1640 – 1651).
Pemerintahan selanjutnya dipegang oleh Abdul Fatah yang bergelar Sultan Ageng Tirtayasa (1651 – 1682). Pada masa pemerintahannya, Banten mencapai kejayaan. Sultan Ageng mengadakan pembangunan, seperti jalan, pelabuhan, pasar, masjid yang padadasarnya untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Banten.
Namun sejak VOC turut campur tangan dalam pemerintahan Banten, kehidupan sosial masyarakatnya mengalami kemerosotan. Keadaan semakin memburuk ketika terjadi pertentangan antara Sultan Ageng dan Sultan Haji, putranya dari selir.
Pertentangan ini berawal ketika Sultan Ageng mengangkat Pangeran Purbaya (putra kedua) sebagai putra mahkota. Pengangkatan ini membuat iri Sultan Haji. Berbeda dengan ayahnya, Sultan Haji memihak VOC. Bahkan, dia meminta bantuan VOC untuk menyingkirkan Sultan Ageng dan Pangeran Purbaya. Sebagai imbalannya, VOC meminta Sultan Haji untuk menandatangani perjanjian pada tahun 1682 yang isinya, antara lain, Belanda mengakui Sultan Haji sebagai sultan di Banten; Banten harus melepaskan tuntutannya atas Cirebon;
Banten tidak boleh berdagang lagi di daerah Maluku, hanya Belanda yang boleh mengekspor lada dan memasukkan kain ke wilayah kekuasaan Banten; Cisadane merupakan batas antara Banten dan Belanda. Perjanjian tersebut mengakibatkan Banten berada pada posisi yang sulit karena ia kehilangan peranannya sebagai pelabuhan bebas sejak adanya monopoli dari Belanda. Pada tahun 1683,
Sultan Ageng tertangkap oleh VOC sedangkan Pangeran Purbaya dapat meloloskan diri. Setelah menjadi tawanan Belanda selama delapan tahun, Sultan Ageng wafat (1692). Adapun Pangeran Purbaya tertangkap oleh Untung Suropati, utusan Belanda, dan wafat pada tahun 1689.
nah, itulah mengenai Kerajaan Banten. Jika ada pertanyaan bisa menghubungi admin DISINI atau dengan cara tinggalkan pertanyaan anda di kolom komentar.
Sumber Gambar : wikipedia.net
Sumber Referensi : Buku BSE CAKRAWALA SEJARAH Kelas XI SMA/MA WARDAYA2009
0 Response to "Kerajaan Banten"
Post a Comment